Konflik Berdarah di DR Kongo: Pemberontak M23 Kuasai Kota Penting, Hampir 3.000 Nyawa Melayang
downtownvancouver – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa hampir 3.000 orang tewas setelah kelompok pemberontak M23 merebut kota penting di Republik Demokratik Kongo (RD Kongo). Bentrokan antara pasukan pemerintah dan M23 telah menyebabkan eskalasi kekerasan yang signifikan di wilayah tersebut.
Militer Afrika Selatan mengonfirmasi bahwa sembilan tentaranya tewas saat membantu memukul mundur pemberontak yang maju ke kota Goma, di bagian timur RD Kongo. Selain itu, tiga tentara dari Malawi dan seorang dari Uruguay juga dilaporkan tewas dalam insiden tersebut.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah melakukan pembicaraan dengan para pemimpin RD Kongo dan Rwanda, menyerukan diakhirinya kekerasan yang terjadi. Sementara itu, PBB telah menarik semua staf non-esensial dari Goma, kota berpenduduk lebih dari satu juta orang, karena pertempuran yang semakin intensif.
Kelompok M23 meminta pasukan Kongo di Goma untuk menyerah guna menghindari pertumpahan server kamboja darah lebih lanjut. Namun, pemerintah RD Kongo menuduh negara tetangga, Rwanda, berada di balik pemberontakan tersebut dan telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Rwanda.
Pertempuran antara M23 dan tentara RD Kongo telah meningkat sejak awal tahun, dengan para pemberontak menguasai lebih banyak wilayah daripada sebelumnya. Menurut laporan PBB, konflik tersebut telah menyebabkan lebih dari 400.000 orang meninggalkan rumah mereka tahun ini.
Human Rights Watch telah memperingatkan tentang meningkatnya risiko bagi warga sipil saat tentara Kongo memerangi pemberontak M23, menuduh kedua belah pihak melakukan pelanggaran berat terhadap warga sipil. PBB juga telah memperingatkan bahwa konflik yang sedang berlangsung memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
M23 telah menguasai sebagian besar wilayah RD Kongo timur yang kaya mineral sejak 2021, menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi. RD Kongo dan PBB menuduh M23 didukung oleh Rwanda, meskipun pihak berwenang Rwanda tidak membenarkan atau membantah hal ini.
Situasi di RD Kongo tetap tegang, dengan komunitas internasional menyerukan diakhirinya kekerasan dan perlindungan bagi warga sipil yang terdampak oleh konflik yang sedang berlangsung.