Sejarah Perfilman Indonesia

Film di Indonesia terkadang mengalami pasang surut, seperti halnya perkembangan industri secara global. Dari zaman kolonial hingga saat ini, sejarah perfilman Indonesia bisa dilacak. Industri perfilman Indonesia saat ini bisa dibilang sedang berkembang. Meskipun teknologinya belum semaju Hollywood, industri film nasional mencapai pertumbuhan tertinggi dalam sejarahnya. Pertumbuhan ini dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah produksi film maupun dari sisi peminatnya.

Periode penjajahan Belanda (1900-1941)

Pada tahun 1900, ketika masih di bawah penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia mulai mengenal film. Di Kebon Jae, Tanah Abang, pemutaran perdana film dokumenter yang menelusuri perjalanan Ratu dan Raja Belanda sedang berlangsung saat itu. Film-film dari China dan Amerika mulai masuk ke Indonesia selama 25 tahun berikutnya. Pada 1926, Indonesia mulai memproduksi film sendiri yang berjudul Lotoeng Kasaroeng, karya G. Kruger dan L. Heuveldorp. Walaupun dibuat oleh orang Jerman dan Belanda, film yang diproduksi oleh NV Jaya Film Company di Bandung ini dianggap sebagai film Indonesia pertama karena menampilkan cerita asli Indonesia. Ketika orang Tionghoa mulai mendominasi ekonomi, sinema Indonesia menjadi semakin populer. Pada titik ini, terlihat jelas bahwa fondasi awal industri film Indonesia lebih bersifat sosio-ekonomi daripada sosio-kultural. Cerita dan beberapa aktornya dari Indonesia, tapi sutradaranya bukan Pribumi.

Periode penjajahan Jepang (1942-1945)

Perfilman Indonesia mengalami pembatasan yang tidak biasa pada masa pemerintahan pemerintah Jepang. Pasalnya, hanya film-film propaganda yang memuji kehebatan Jepang yang diperbolehkan, sedangkan semua film asing dilarang masuk ke Indonesia. Hanya film buatan Indonesia dan Jepang yang tersedia untuk ditonton masyarakat umum selama ini.

Periode 1945-1949

Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) hadir saat Pacific Corporation milik Belanda mengalami perubahan nama menjadi Pusat Film Nasional (PFN) di awal kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, regulator yang akan mendorong ekspansi bioskop Indonesia tidak mendukung perkembangan ini. Akibatnya, kompetisi menjadi tidak seimbang karena film asing membajiri Indonesia sementara produksi sendiri belum kuat.

Baca Juga : Sejarah Dan Teknik Pencak Silat

Periode 1950-1959

Pada periode ini, perfilman Indonesia diwarnai karya pekerja film yang sebagian berasal dari tenaga terpelajar dan tergabung dalam organisasi seniman film.
Pada 30 Maret 1950, Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) dan produksi pertamanya adalah film Darah dan Doa. Tanggal 30 Maret kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Film Nasional. Film Darah dan Doa karya Usmar Ismail adalah film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia dan diproduksi oleh perusahaan milik sendiri.

Pada 23 April 1951, Perseroan Artis Republik Indonesia (PERSARI) yang dipimpin oleh Djamaluddin Malik resmi berdiri sebagai tempat bernaung artis film dan sandiwara. Produksi film dalam negeri meningkat dan puncaknya pada 1955 dengan 59 judul film. Untuk menunjukkan pentingnya promosi film, Persatuan Pers Film Indonesia (PERPENI) dan Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI) didirikan pada tahun 1955. Festival Film Indonesia (FFI) pertama diadakan pada tahun yang sama. Masyarakat di Indonesia langsung memeluk film-film India ketika pertama kali masuk ke sana pada tahun 1959.

Periode 1960-1969

Karena PKI menjadi kekuatan sosial baru selama ini, itu adalah masa yang penuh gejolak. Pemboikotan film-film yang diduga sebagai instrumen imperialisme Amerika adalah salah satu contoh tindakan tegas yang dilakukan selain itu. Karena pembakaran, ada lebih sedikit bioskop pada tahun 1964. Pemberontakan G30S/PKI juga membuat situasi semakin tidak menentu hingga 1966, hingga membuat aktivitas produksi di berbagai bidang menjadi lumpuh.

Periode 1970-1990

Industri perfilman Indonesia mulai berkembang pada awal tahun 1970. Salah satunya ditandai dengan 19 film yang diproduksi tahun itu, meningkat dari tahun 1669 yang hanya menghasilkan 11. Industri film dan teknologi sama-sama maju pesat selama ini. Pada 1980, Sektertaris Dewan Film Nasional, Djohardin, mengatakan bahwa film nasional dapat diproduksi dalam bentuk kaset video.

Periode 1990-1998

Produksi film Indonesia anjlok drastis pada dekade 1990-an, yang merupakan dekade terburuk sejak kebangkitan awal 1970-an. Banyak hal, termasuk munculnya televisi swasta, struktur industri film, dan persaingan dari film asing, berdampak pada hal ini. Jumlah produksi film nasional semakin merosot hingga titik memprihatinkan, hanya berkisar enam hingga sembilan judul saja setiap tahunnya.

Periode 1998-sekarang

Pada 1998, perfilman nasional mulai bangkit kembali. Salah satunya ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan dalam jumlah produksi. Film-film seperti Kuldesak (1998), Petualangan Sherina (2000), dan Ada Apa Dengan Cinta (2002) juga sukses di pasaran. Mayoritas layar bioskop tanah air dikuasai film Indonesia pada 2008. Sejak itu, generasi film yang dulunya didominasi oleh sutradara senior, lambat laun digantikan oleh generasi baru, antara lain Riri Riza, Rudi Sudjarwo, dan Nia Dinata. Industri perfilman nasional mengawali tahun 2020 dengan pertumbuhan tertinggi yang pernah dialaminya.